GERAKAN SOSIALISASI ETIKA LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KOTA PALEMBANG (STUDY KASUS : WALHI-SUMSEL)
Sekarang ini lingkungan kita masuk pada
krisis ekologi. Akar persoalan dari krisis ekologi ini tidak terlepas dari
perilaku manusia yang kurang memiliki rasa peduli terhadap lingkungan serta
tanggungjawab dalam merawat kondisi alam dan lingkungan di kesampingkan, padahal
lingkungan hidup adalah tempat bagi keberlangsungan hidup manusia karena
lingkungan ada disekitar manusia dan lingkungan adalah tempat dimana organisme
dan anorganisme berkembang dan berinteraksi. Namun arti penting lingkungan tersebut
cenderung belum dipahami oleh manusia, tidak heran jika lingkungan saat ini
tengah mengalami krisis ekologi.
Perilaku manusia yang belum
memahami arti penting lingkungan hidup ini dapat di dibuktikan dengan adanya masalah
limbah yang ada di bantaran sungai Musi Desa Sukarami Kecamatan Sekayu Sumatera
Selatan yang membuat sungai menjadi tercemar sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan pemukiman. Berdasarkan
hasil survei menunjukkan bahwa 74% warga membuang air limbah dan buang air
besar langsung ke sungai Musi, saluran/kali, halaman dan 26% dibuang kesumur resapan. Perilaku
ini mencerminkan bahwa kesadaran masyarakat untuk lebih peduli dengan lingkungan
masih rendah (Rahmadi, dkk :
2008).
Perilaku manusia yang kurang
bertanggungjawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dapat pula
dibuktikan dengan terjadinya fenomena kebakaran hutan dan lahan di beberapa
provinsi Indonesia seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan yang menimbulkan
bencana kabut. Perilaku manusia yang membakar lahan dan hutan menjadi salah
satu faktor penyebab krisis ekologi dikarenakan usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan ekonomonisnya. Lahan dan hutan yang dibuka untuk pemukiman dan
pertanian/perkebunan dengan cara dibakar lebih dipilih oleh manusia-manusia yang berorientasi
pada profit
tanpa memikirkan akibat yang akan
ditimbulkan. Fenomena ini mencerminkan bahwa
hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan hidup nampaknya tidak
diterapkan lagi karena kepentingan ekonomi yang lebih diutamakan. Bencana kabut
asap karena lahan dan hutan yang dibakar ini menyisakan penderitaan dan
kerugian baik secara materi dan nonmateri. Dampak kerugian akibat bencana kabut
asap tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1
Dampak Kerugian
Kebakaran Lahan dan Hutan
Tahun
|
Dampak
Kerugian
|
1982-1983
|
Kebakaran
hutan dan lahan di Kalimantan timur yang menghancurkan 3,2 juta hektar dengan
kerugian mencapai lebih dari 6 triliyun rupiah (FWI,2011)
|
1997-1998
|
Degradasi
hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62-2.7
miliar. Biaya pencemaran asap menelan kerugian sekitar USD 674-799 juta dan
terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar USD 2.8 miliar dollar
(Tacconi 2003).
|
2006-2007
|
Dua
fase kebakaran di awal dan pertengahan tahun sempat mempengaruhi hubungan
diplomatik Indonesia dengan negara tetangga.
|
2013-2014
|
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf kepada negara tetangga. Kebakaran hutan
dan lahan terjadi pada awal tahun di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat.
Tercatat kerugian sebesar Rp. 481, 23 Milyar pada periode kebakaran
Maret-April 2014 di Provinsi Riau (Syaufina, 2014) dengan total 39.239 orang
terkena ISPA.
|
Kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia seperti
yang di sebutkan di atas mencerminkan bahwa masyarakat mengabaikan etika
lingkungan. Etika lingkungan merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis
manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral dan upaya untuk mengendalikan alam
agar tetap berada pada batas kelestarian. Di samping itu, etika lingkungan juga
berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara
manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia
dengan makluk lain atau dengan alam secara keseluruhan. Maka dari itu, etika
lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dapat
dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Apabila keseimbangan lingkungan
terganggu sehingga munculnya masalah lingkungan hidup maka hal tersebut
berkaitan erat dengan etika lingkungan. Hal ini dikarenakan masalah lingkungan
hidup adalah masalah moral atau persoalan perilaku manusia (A. Sony
Keraf,dikutip dalam Mukti : 3-4). Ini artinya kerusakan lingkungan bukan
semata-mata hanya karena persoalan teknis. Faktor penyebab dari etika lingkungan
yang cenderung dilupakan ini adalah keserakahan yang bersifat ekonomis dan
ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang
lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada di
sekitarnya (Dedik
Budianta,dikutip dalam Mukti : 2-3).
Kerusakan lingkungan ini juga
diperparah karena manusia menganut paham materialisme
sehingga terjadi krisis ekologi dan dipercepat karena adanya dominasi sikap antroposentrisme yaitu memandang manusia adalah pusat dari alam semesta dan
hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya hanya alat
bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia (Keraf,dikutip dalam Mukti : 7). Selain itu juga, kerusakan lingkungan dan bencana
lingkungan yang terjadi juga disebabkan karena tidak selarasnya peran dan
fungsi sistem dalam mendukung pencapaian tujuan konservasi dan penyelamatan
lingkungan yang diharapkan. Tidak
selarasnya peran dan fungsi sistem dalam penyelamatan lingkungan dalam konteks
ini dapat dilihat dari sistem hukum. Sistem hukum pada dasarnya adalah landasan
untuk mendukung penuh pemanfaatan lingkungan, sebab dalam sistem hukum ada
undang-undang dan peraturan-peraturan tentang lingkungan (Rachmad K.Dwi
Susilo,2012: 39-43).
Seperti pada pasal 28 H ayat 1 UUD 1945,
dijelaskan, “Setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan.” Kemudian Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 yang mengatur
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Landasan hukum yang
mengatur mengenai kewajiban untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup belum
diimplementasikan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat keputusan
Majelis Hukum Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan gantirugi dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebesar 7,9 triliun rupiah atas
kasus kebakaran hutan yang disebabkan aksi tebang dan bakar oleh PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang merupakan anak
usaha Grup Sinar Mas serta membebaskan pelaku yang menyebabkan kerusakan
lingkungan tersebut.
Padahal luasnya lahan dan hutan yang dibakar untuk
kepentingan ekonomi ini tidak hanya membawa kerugian untuk masyarakat dan
negara, tetapi juga mempercepat proses global warming atau
peristiwa yang memberikan dampak negatif untuk kelangsungan hidup makluk hidup
karena hutan dan lahan yang di bakar tersebut menghasilkan asap dan gas CO2
yang berpengaruh besar pada pemanasan global. Luas lahan dan hutan yang
terbakar di beberapa provinsi Indonesia yang menyisakan kerugian yang tidak
terhitung nilainya, dapat dilihat pada tabel 1.2.
Tabel 1.2
Luas Kebakaran
Hutan Dan Lahan Di Lima Provinsi
Periode
2011-2015 (Satuan Hektar)
Provinsi
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
Riau
|
74,50
|
834,00
|
1.077,50
|
6.301,10
|
2.140,90
|
Sumsel
|
84,50
|
-
|
484,15
|
8.504,86
|
124,07
|
Jambi
|
89,00
|
11,25
|
199,10
|
3.470,61
|
139,66
|
Kalbar
|
-
|
565,70
|
22,70
|
3.556,10
|
366,66
|
Kalteng
|
22,00
|
55,15
|
3,10
|
4.022,85
|
76,20
|
Seluruh
Indonesia
|
2.612,09
|
8.269,65
|
4.768,55
|
44.546,84
|
3.025,79
|
Dari data tersebut pada
tahun 2014 untuk seluruh
Indonesia luas lahan dan hutan
yang terbakar mencapai 44.546,84 Hektar, angka yang paling tinggi di banding
tahun yang lain. Dari sini kita dapat menilai bahwa etika lingkungan masyarakat
semakin rusak karena mementingkan kepentingan ekonomis yang akan membawa
keuntungan bagi diri sendiri namun mengorbankan lingkungan dan tidak
memperdulikan orang lain yang akan terkena dampak kerugiannya
Miris memang melihat perilaku manusia yang
tidak peduli dengan kelestarian alam dan lingkungan karena mengabaikan etika
lingkungan. Selain mengabaikan etika lingkungan, masyarakat dewasa ini juga
telah melupakan kearifan lokal (local
wisdom) yang berasal dari leluhur terdahulu dalam memperlakukan alam, padahal
kearifan lokal tersebut mengajarkan untuk menghargai dan menjaga lingkungan karena
kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang
berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan
masyarakat (Sibarani,
dikutip dalam Diana Gusti Rahayu dkk, 2012 : 1-2), seperti kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Kenegerian
Rokan Provinsi Riau dalam menjaga kelestarian hutan dengan menerapkan ketetapan
hukum adat dengan peraturan yang ketat untuk menjaga hutan dari illegal logging. Sanksi
yang diberikan bagi pelaku
kerusakan hutan berguna memberikan efek jera terhadap para
perusak hutan.
Kearifan lokal tersebut mengajarkan
untuk menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan dengan membangun hubungan
yang harmonis dengan lingkungan. Contoh sederhana dari membangun hubungan
yang harmonis dengan
lingkungan yaitu membuang sampah
pada tempatnya, atau dengan cara tidak mengeskploitasi alam secara berlebihan
sehingga dapat mengganggu keseimbangan alam dan lingkungan. Nilai-nilai
kearifan lokal yang luhur ini cenderung tidak diimplementasikan lagi oleh
masyarakat dewasa ini yang lebih
berorientasi pada paham materialistis
dan antroposentrisme. Hal ini dapat
di buktikan dengan fenomena pengeksploitasian sumber daya alam yang pada akhirnya
menyebabkan kerusakan lingkungan. Seperti aktivitas pertambangan PT Freepot di Papua,
dari sisi lingkungan, industri tambang tersebut menyebabkan pencemaran
air karena industri membuang limbah tambang kesungai dalam
bentuk tailings yang mengandung air asam batuan ke sistem sungai
Aghwagon (Ratih Hamsky,2014:418). Selain itu kerusakan lingkungan juga terjadi di Desa
Ponggok, Kabupaten Klaten akibat aktivitas PT Aqua-Donone yang menjarah
sumber daya air pegunungan masyarakat lokal setelah kesepakatan antara
Pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT Tirtainvestama Aqua-Danone yang kemudian
ditindak lanjuti dengan Perda No.12 tahun 1991 dan Surat DPRD No.172/09 tanggal
28 Januari 2002 ( Rachmad K. Dwi Susilo,2012 : 129-130).
Eksploitasi sumber mata air pegunungan oleh industri
tersebut akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan yang membawa dampak kerugian
untuk masyarakat lokal. Pertama, debit air menurun dari 100 Liter/detik menjadi
56 Liter/detik. Kedua, pelanggaran AMDAL dengan menggeser lokasi pengeboran
dari titik sebelumnya. Ketiga pengisolasian lokasi sumber mata air Sigedang
yang menyebabkan tertutupnya akses masyarakat dalam mengontrol sumber produksi
(Erwin Endaryanta,dikutip
dalam Rachmad, 2011:181-182). Dari sini kita dapat mengerti bahwa kerusakan lingkungan yang
menyebabkan krisis ekologi dikarenakan perilaku manusia itu sendiri yang menghilangkan
nilai-nilai kearifan lokal untuk kepentingan profit oriented.
Fenomena kerusakan lingkungan akibat
krisis etika lingkungan ini mengundang perhatian organisasi berbasis lingkungan,
salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup SUMSEL sebagai NGO (Non Goverment Organization) yang giat dalam melakukan gerakan peduli lingkungan
untuk mensosialisasikan etika lingkungan kepada masyarakat serta sebagai wadah aspirasi masyarakat untuk mempengaruhi
kebijakan yang dibuat pemerintah terkait dengan lingkungan. WALHI-SUMSEL sebagai
salah satu NGO memainkan peran sebagai social
engeneering (fungsi rekayasa sosial) dan agent of change (agen perubahan). Sebagai social engeneering WALHI-SUMSEL yang bergerak dibidang lingkungan
(ekologi) menyusun program atau rencana strategis dalam menjaga keseimbangan
ekologi. Sebagai agent of change
peran WALHI-SUMSEL memfokuskan upaya-upaya penyadaran untuk membentuk kesadaran
kritis masyarakat yang bertanggung jawab dalam menghadapi kerusakan lingkungan
hidup yang terjadi.
Gerakan peduli lingkungan WALHI-SUMSEL
dapat dilihat pada eksistensinya dalam memberikan pendampingan dan advokasi
terhadap masyarakat terkait lingkungan hidup bisa dilihat pada kasus pembakaran
hutan yang terjadi di lima provinsi yaitu Riau, Jambi, SUMSEL, KALBAR, dan KALTENG. WALHI-SUMSEL
menggugat Korporasi dan pemerintah
terhadap dampak dan pemulihan lingkungan, berdasarkan analisis data kebakaran
hutan dan lahan di lima provinsi tersebut sampai bulan september 2015, WALHI menemukan bahwa titik api berada
dalam konsensi perusahaan yaitu : Kalimantan
Tengah 5.672, Kalimantan Barat 2.495,
Sumatera Selatan 4.416, Jambi 2.842, Riau 1.005, dan Jambi 2.842 (http.//www.walhi.sumsel.or.id).
Gerakan peduli lingkungan yang dilakukan oleh WALHI-SUMSEL dapat dinilai
sebagai upayanya untuk menyadarkan masyarakat bahwa kerusakan lingkungan yang
terjadi karena perilaku manusia itu
sendiri yang melupakan etika lingkungan untuk kepentingan diri sendiri atau
kelompok.
WALHI-SUMSEL juga melakukan
pendampingan dan advokasi
terhadap masalah pencemaran sungai Musi akibat sampah plastik, limbah
industri, limbah rumah tangga, dan limbah pasar yang membuat sungai Musi sebagian
besar berwarna hitam atau coklat, berbau tidak sedap, penuh lumpur, dan sampah
dengan (http.//www.mongobay situs berita dan informasi
lingkungan.co.id). Masalah lingkungan yang telah dibahas tersebut memperkuat
asumsi bahwa masyarakat semakin melupakan etika lingkungan. Hal inilah yang
membuat WALHI-SUMSEL giat melakukan gerakan peduli lingkungan
guna membangun etika lingkungan, khususnya masyarakat kota Palembang.
(Noverinavevenmira)
Comments
Post a Comment