KONFLIK ETNIS PENGELOLAAN KONFLIK DI INDONESIA : SEBUAH ANALISIS KONFLIK DI MALUKA DAN POSO
Maka keberagaman ini harus di kelola dengan
edukatif, sistematis, dan kreatif, agar menjadi asset bangsa yang tak ternilai.
Kemajemukan yang ada pada bangsa Indonesia, di satu pihak bila disikapi secara
arif dan bijaksana merupakan modal dasar sumber daya manusia. Di lain pihak
dapat pula menimbulkan kerawanan sosial. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi
akhir-akhir ini merupakan suatu tragedi yang timbul karena adanya kemajemukan
yang tidak disikapi secara arif, sehingga menimbulkan jarak sosial yang menjadi
potensi konflik serta dapat menimbulkan disintegrasi sosial bagi bangsa
Indonesia.
Sebelumnya,perlu untuk dipahami
bahwasanya etnis merupakan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan
yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan,adat,agama,bahasa.Anggota
suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah,bahasa,sistem
nilai,serta adat-istiadat.Di Indonesia jumlah suku bangsa secara keseluruhan
mencapai lebih dari 1.300 suku bangsa.Hal ini menyebabkan Indonesia adalah
negara yang memiliki banyak perbedaan,dimana perbedaan tersebut apabila
dipandang secara postif menjadi kearifan lokal dengan karateristik yang unik,
namun tidak jarang pula perbedaan tersebut menyebabkan disintegrasi sosial bagi
bangsa Indonesia.Disintegrasi tersebut disebabkan oleh timbulnya konflik etnis.
Konflik etnis adalah konflik yang
terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih (Brown, 1997). Konflik lebih
sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang
satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya
penyebab konflik yang utama.Faturochman (2003) menyebut kan setidaknya ada enam
hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik,yaitu : (1).Kepentingan yang
sama diantara beberapa pihak,(2).Perebutan sumber daya,(3).Sumber daya yang
terbatas,(4).Kategori atau identitas yang berbeda,(5).Prasangka atau
diskriminasi, (6).Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).Sementara Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa
konflik antar etnis di Indonesia terdiri dari tiga sebab
utama,yaitu : konflik muncul karena ada benturan budaya,karena masalah ekonomi
dan politik,karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain
hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang
menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang
lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya,
seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu
keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu
berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang
lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini
sangat berperan menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk
memahami perbedaan. Sebagai tambahan,pengidentifikasian kuat seseorang terhadap
kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan
menjadi konflik.
Seperti
konflik dan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia yaitu konflik Maluku dan
konflik Poso yang membawa perbedaan agama.Agama merupakan salah satu indikator dari
etnis (suku bangsa),hal ini senada dengan yang dinyatahkan oleh Bruce J.Cohen
(1988) yang menyatahkan bahwa kelompok etnis dibedakan oleh karaterisik budaya
yang dimiliki oleh para anggotanya.Karateristik itu meliputi agama,bahasa,atau
kebangsaan.Dan dibawah ini akan dikaji mengenai konflik etnis berdasarkan
karateristik pada aspek agama :
Seperti
konflik
dan kekerasan di Maluku.Konflik kekerasan di Maluku yang sebagian besar terkonsentrasi
di Ambon, adalah salah satu konflik yang paling dahsyat yang pecah setelah
kejatuhan rezim Soeharto. Konflik tersebut merenggut hampir 5.000 nyawa dari
tahun 1999 sampai 2002 dan mengungsikan sepertiga dari penduduk Maluku dan
Maluku Utara.Sebelum pecahnya konflik komunal agama di kota Ambon, ada beberapa
pertempuran antar-agama di beberapa daerah lain di Indonesia. Pada November
1998, kerusuhan pecah di Ketapang, Jakarta Utara, antara preman Ambon Kristen,
dan Muslim. Dilaporkan setelah kerusuhan, hampir 200 preman Ambon dikirim
kembali ke Maluku oleh TNI AL Indonesia. Menurut para saksi di Ambon, preman
tersebut bertindak sebagai provokator pada pecahnya kekerasan untuk pertama
kalinya.
Pada Desember 1998, di beberapa
daerah di Ambon, perkelahian dan serangan pembakaran terjadi antara desa Kristen dan Muslim,
seringkali dipicu oleh TNI. Pada 14 Januari 1999, terjadi kerusuhan antara umat
Kristen dan Muslim di Dobo di tenggara Maluku. Hal yang paling sering disebut
sebagai pemicu konflik di Ambon adalah peristiwa pada 19 Januari 1999 selama
liburan hari raya Muslim, Idul Fitri.Sebuah perselisihan kecil terjadi antara
seorang pemuda Kristen dari Mardika, kabupaten di kota Ambon, dengan seorang pemuda
Muslim dari Batumerah, sebuah desa di sebelah Mardika.Desas-desus yang
memperburuk perpecahan yang sudah ada antara komunitas Kristen dan Muslim
dimulai, mempengaruhi desa-desa disekelilingnya ke dalam kekerasan. Pada
awalnya, perkelahian hanya terjadi antara orang Kristen Ambon dan pendatang
Muslim dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan Makassar), dengan masing-masing
meluncurkan serangan mendadak
terhadap yang
lain.
Pendorong Konflik
Konflik
di Maluku sering digambarkan sebagai permusuhan lama antara umat Muslim dan
Kristen walaupun kenyataannya lebih kompleks.Akibat keterlibatan Eropa dalam
perdagangan rempah pada abad ke-16 hampir sekitar setengah dari penduduk Eropa
Maluku sekarang adalah orang Kristen (50,2 persen menurut sensus tahun 2000)
dibandingkan wilayah lain di Indonesia dimana 88 persen penduduknya adalah
Muslim.Lebih dari 300 tahun penjajahan Belanda membagi masyarakat Maluku
menurut garis agama,secara geografis dan sosial.Praktek-praktek tradisional
diperkirakan telah meredam ketegangan antara pihak Kristen dan Muslim dalam kondisi
yang stabil sampai pada1970-an.”Pela-Gandong”,sebuah
sistem aliansi desa yang unik di Maluku Pusat,mengikat desa-desa Kristen dan
Muslim bersama-sama dan memainkan peran penting dalam hubungan sosial
tradisional dan pengalaman identitas budaya.
Maluku
mengalami banyak perubahan sosial selama kepemerintahan Soeharto. Hubungan
damai antara Kristen dan Muslim yang terlihat hanyalah lapisan luarnya saja.
Penjajahan Belanda mengakibatkan orang Kristen diberi akses yang lebih besar dalam
pendidikan dan posisi politik,sedangkan Muslim menjadi mayoritas pedagang dan
pebisnis. Menyusul kebijakan pemerintah untuk transmigrasi yang dimulai pada 1950-an,
migrasi sukarela dari Bugis, Buton dan Makassar yang bertumbuh pada 1970-an,
penduduk Maluku yang Muslim makin bertambah.
Pada
tahun 1990,Soeharto mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai alat untuk mengamankan
dukungan politik dari kelompok Islam ketika kekuasaannya atas militer
memudar.Soeharto menggunakan ICMI sebagai penyeimbang terhadap militer. ICMI
menjadi sumber yang penting bagi perorangan untuk jabatan pemerintahan yang penting,termasuk
di Maluku.
Pada
tahun 1992 M.Akib Latunconsina,direktur
ICMI di Maluku diangkat menjadi gubernur.Beliau adalah orang Maluku pertama
dan orang sipil pertama yang memegang jabatan tersebut, yang biasanya selalu
ditempati oleh pejabat militer dari Jawa.Pada 1996, semua bupati di provinsi
adalah Muslim.Perubahan ini membuat kesal penduduk Kristen dan lebih lagi
membagi Maluku ke dalam garis agama.
2 Evolusi konflik
Pada
fase awal konflik,target kekerasan adalah pendatang Muslim dari Bugis, Buton
dan Makassar, sebuah kelompok yang posisinya yang dominan dalam pasar kerja dan
sektor tenaga kerja informal (contohnya pedagang pasar) menimbulkan
kebencian.Setelah eksodus besar-besaran dari para pendatang, konflik menyebar
ke wilayah lain Maluku dan menjadi lebih jelas mengenai keagamaan. Konflik yang
pecah diperparah oleh desas-desus sekitar simbol keagamaan seperti serangan terhadap
mesjid dan gereja.Perempuan dan anak-anak juga terlibat dalam kekerasan, dengan
cepat belajar membuat tombak, parang, panah dan bom.
Konflik di Maluku mereda pada Mei
1999 ketika perhatian beralih pada awal kampanye pemilihan umum. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangkan pemilihan di Ambon. PDI-P adalah
reformulasi daripada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tergabung dengan
lima partai politik, termasuk Partai Kristen Indonesia (PARKINDO). Secara
historis, PARKINDO didukung okeh komunitas Kristen Ambon dan dengan demikian PDI-P
dianggap sebagai “partai Kristen” di Maluku. Kekerasan meledak di Ambon pada
Juli 1999 ketika kemenangan PDI-P diumumkan. Maluku berada diambang perang
saudara. Rakyat bergerak untuk mempertahankan agamanya dan melakukan kekerasan
terhadap siapapun dari agama yang berbeda.
Banyak
desa yang mengambil bagian dalam pertempuran ini. Aparat keamanan juga terbagi
dengan garis agama dan oleh karena itu tidak dapat melakukan tugasnya dengan
benar. Puncak dari konflik adalah serangan terhadap Gereja Silo dan pembantaian
Tobelo pada 26 Desember 1999.Gereja Silo ditengah pusat kota Ambon adalah salah
satu Gereja Protestan Maluku (GPM) terbesar dan terbakar habis pada hari
setelah Natal. Pada hari yang sama hampir 800 Muslim di mesjid desa Tobelo
dibunuh oleh pihak Kristen. Serangan tersebut pada akhirnya membuat pihak
Kristen dan Muslim untuk terlibat lebih jauh dalam konflik kekerasan, di mana
militer tidak dapat berbuat apa-apa untuk menanganinya.
Selama
periode ini, banyak desa yang diserang, gereja-gereja dan mesjid-mesjid
dihancurkan, dan masyarakat sipil terbunuh dan mengungsi. Ketidakmampuan
pemerintah pusat Indonesia dan militer untuk mengendalikan konflikmemberikan
kesempatan bagi kelompok-kelompok di luar Maluku untuk mengekploitasi situasi. Pada
7 Januari 2000, setelah pembantaian di Tolelo, lebih dari 100.000 Muslim
mengadakan protes di Jakarta di Lapangan Monas, menyerukan jihad di Maluku.
Protes tersebut diatur oleh partai politik Muslim dan organisasi Muslim. Salah
satu organisasi Muslim, yang disebut Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal-Jama’ah
(FKAWJ) yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib, mengadakan sebuah pertemuan
akbar di Stadiun Senayan pada 6 April 2000 dan menciptakan Laskar Jihad, sebuah
kelompok Muslim militan.
Pada
Mei 2000, militan Muslim yang berbasis di Jawa ini mengumumkan mereka akan
meluncurkan misi Jihad ke Maluku dan mulai mengirimkan anggotanya ke provinsi
tersebut. Mereka mencuri lebih dari 800 senjata dari gudang senjata polisi pada
Juni 2000 dan melakukan serangan berkali-kali ke anggota polisi. Baik Laskar
Jihad maupun militer menyalurkan senjata ke masyarakat sipil Muslim, menyebabkan
konflik tersebut meningkat.Dinamika konflik berubah secara signifikan,dengan
banyaknya desa Kristen yang diserang daripada desa Muslim. Sebuah keadaan
darurat sipil diberlakukan pada 27 Juni 2000 dan sejumlah besar pasukan militer
dikerahkan di Maluku pada waktu itu ada 17 batalion tentara dan dua batalion
polisi.Namun baik tentara dan maupun polisi tidak ada yang berhasil
mengendalikan situasi.
Ketidakmampuan
pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kedaulatan Maluku
(FKM) pada 2000, sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku
(RMS).RMS dibentuk 1950 dan mengadvokasi kaum separatis dari negara yang didominasi
Muslim.RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk dinamika
konflik antar agama.Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan kekerasan
pada akhir 2001.
Serangan
yang berkepanjangan telah memisahkan masyarakat, sehingga secara logistik lebih
sulit bagi orang Muslim dan Kristen untuk menyerang satu sama lain. Sebuah batalion
gabungan khusus, Yongab, terdiri dari pasukan khusus angkatan darat, angkatan
laut dan angkatan udara, melakukan operasi terutama melawan Laskar Jihad, termasuk
terhadap basis mereka. Pada akhirnya, orang Maluku sering mengatakan bahwa
mereka telah lelah bertempur. Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara
komunitas Kristen dan Muslim yang mana, pada2002, memuncak pada perjanjian
perdamaian Malino II. Kekerasan sporadis dan pemboman berlanjut (termasuk
serangan terhadap kantor DPRD dan gubernur) tapi banyak berkurang dalam
frekuensi dan intensitas sehingga status darurat sipil dihapus di Maluku
pada2003. Titik balik penting lainnya adalah serangan pada April 2002 di desa
Soya, di mana 11 orang meninggal dan 22 rumah dibom.26 Penduduk Soya adalah
orang Kristen yang menganggap mereka aman dari serangan karena letaknya yang
jauh dari komunitas Muslim.
Sebuah penyelidikan mengungkapkan bahwa
Kopassus (pasukan khusus TNI) dan sebuah geng Kristen yang melakukan serangan
tersebut, bukan pihak Muslim seperti dicurigai pada awalnya.Menurut banyak
pengamat, Kopassus mencoba memperpanjang konflik dengan menyewa geng Kristen
untuk melakukan serangan. Berty Loupatty, salah satu pemimpin preman Kristen,
mengaku jika serangan Soya sebenarnya adalah perintah Kopassus.Hal ini memberikan
pihak Kristen dan Muslim sebuah alasan yang sama atas penolakan mereka terhadap
tentara. Sebuah kesamaan perasaan sebagai korban mengurangi tingkat konflik
komunal.Kejadian-kejadian berikutnya tidak lagi memicu kekerasan massa seperti
yang terjadi sebelumnya.Pada April 2004 lebih dari 40 orang tewas dalam
kerusuhan menyusul pengibaran bendera RMS dirumah pemimpin FKM.Kerusuhan pecah
lagi di kota Ambon tapi mereda dalam waktu satu minggu. Menyusul kerusuhan ini,
pemboman Kecil-kecilan terjadi tetapi tidak memicu reaksi keras dari masyarakat
lokal.
3 Tokoh dan inisiatif pengelolaan
konflik
Berbagai
upaya telah diambil untuk mengakhiri konflik, termasuk yang dipimpin oleh
petugas keamanan,pemerintahan pusat dan daerah,LSM internasional dan
lokal,masyarakat lokal dan kelompok perempuan.Dua pendekatan yang luas terhadap
pengelolaan konflik di Maluku muncul dari upaya berikut : pendekatan keamanan
dan Darurat dan pendekatan pemulihan dan pembangunan. Pengelolaan konflik
sebelum Perjanjian Damai Malino pada Februari 2002 (Malino II) sebagian besar
adalah bersifat reaktif.Tidak ada strategi atau perencanaan jangka panjang oleh
baik Pemerintah maupun masyarakat sipil.Alat pengelolaan konflik yang utama
digunakan adalah pengiriman bantuan dan keamanan, mengandalkan pada militer
yang didatangkan dari luar Maluku.Malino II adalah sebuah titik balik yang
signifikan ditandai dengan pengalihan ke pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Setelah proses perdamaian Malino II, pemerintah pusat dan daerah menggunakan
perangkat hukum menangkap dan menuntut mereka yang memegang senjata dan
melakukan serangan dan fokus kepada perencanaan pembangunan jangka panjang dan
pemulihan.Masyarakat sipil juga mengalihkan pendekatannya dari bantuan darurat
ke pembangunan dan pemulihan.
·
Sektor non-pemerintahan
Karena
pemerintahan daerah tidak dapat beroperasi selama masa darurat, LSM
internasional dan lokal berupaya mengisi kekosongan tersebut. LSM merupakan
penyedia bantuan kemanusiaan, sanitasi, pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar
lainnya terutama untuk pengungsi. Karena donor dan LSM internasional memiliki
kesulitan memasuki daerah konflik, LSM lokal memainkan peran yang penting dalam
penyaluran bantuan.Menyusul kerusuhan di bulan Januari 1999, LSM lokal di Ambon
mendirikan sebuah konsorsium yang disebut Tim Relawan Kemanusiaan Sosial Maluku
(TIRUS), yang beroperasi dari sebuah kantor LSM Katolik.Sebelum
konflik,kira-kira ada sepuluh LSM di Ambon dan mereka sering melampaui
perbedaan agama. Namun, konflik membuat LSM terpecah secara agama,
masing-masing menyediakan bantuan kepada komunitasnya masing-masing. Bantuan
yang disediakan kurang sesuai dengan penilaian yang sistematis terhadap
kebutuhan dan lebih kepada daerah di mana LSM tertentu bisa mendapatkan akses.
Pada
periode sebelum perjanjian Malino ditandatangani, LSM internasional dan badan
badan PBB fokus terutama kepada bantuan kemanusiaan daripada kegiatan-kegiatan
pembangunan perdamaian.Mereka memberikan bantuan kepada masyarakat secara
langsung, serta mendanai LSM lokal dan menjalankan program-program pembangunan
kapasitas untuk meningkatkan tata laksana pemerintahan lokal. Upaya-upaya dilakukan
untuk mencoba dan menyediakan intensif untuk kerja sama keagamaan.Contohnya
program pemulihan masyarakat dari UNDP menyediakan dana kepada LSM lokal dengan
syarat LSM Kristen dan Muslim harus berkolaborasi.
·
Upaya-upaya dari masyarakat lokal
untuk menyelesaikan konflik
Sebelum
kedatangan bantuan darurat pemerintah pusat dan badan-badan internasional ke
Ambon,masyarakat lokal sangat bergantung kepada lembaga-lembaga keagamaan untuk
mendapat bantuan. Seperti yang dikatakan oleh seorang penduduk Warigin di kota
Ambon: “Kami menolong dan mendukung satu
sama lain dengan membagi persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya,
dan menerima pengungsi di rumah kami. Tidak ada seorangpun yang menolong kami untuk
waktu yang lama. Kami bertahan hidup sendiri sampai bantuan darurat datang”. Di
antara masyarakat Kristen,gereja-gereja berfungsi sebagai pusat distribusi
untuk bantuan darurat.Bantuan dalam masyarakat Muslim kurang teratur,dengan
mesjid-mesjid yang hanya berfungsi sebagai tempat penampungan bagi umat
Muslim.Pada fase konflik ini,”damai” dianggap sebagai kata yang tabu dalam banyak
komunitas.Mereka yang berbicara tentang “damai” seringkali diperlakukan sebagai musuh,membatasi
kemampuan
mereka untuk memulai proses perdamaian.
Namun
demikian, ada beberapa contoh pencegahan konflik yang berhasil pada tingkat
akar rumput. Sebuah contoh yang kuat ialah kasus ‘Tim 20’ di desa Wayame, yang
memelihara perdamaian hidup bersama antara penduduk Kristen dan Muslim.Tim 20
yang terdiri dari sepuluh orang Kristen dan sepuluh orang Muslim, bertanggung
jawab untuk memverifikasi setiap informasi yang bertujuan memprovokasi
pertempuran antara kedua komunitas agama.Mereka juga memberlakukan aturan di
desa yang melarang penduduk mengambil bagian dalam perkelahian penyalahgunaan
simbol-simbol keagamaan, mengkonsumsi alkohol,dan membuat komentar yang
menghina agama. Baik pendeta dan pemimpin Muslim memainkan peran yang penting
dalam mempromosikan toleransi beragama secara terus-menerus memberitahu kepada
masyarakat lokal bahwa ini bukan konflik agama.
Tim
20 juga menciptakan pasar yang dapat diakses oleh kedua komunitas agama. Hal
ini tidak hanya menunjukkan hubungan yang harmonis antara Kristen dan Muslim
tapi juga penting bagi kelangsungan hidup ekonomi desa selama konflik.Gerakan
Damai Baku Bae adalah insiatif
penting pengelolaan konflik lainnya yang menolong untuk membentuk identitas
bersama antara kedua kelompok, sebagai korban konflik. ‘Baku Bae’adalah sebuah ungkapan adat Maluku yang umumnya digunakan
oleh anak – anak untuk memulihkan persahabatan setelah kesalahpahaman atau pertengkaran.
Dalam konteks konflik Maluku, ‘Baku Bae’
berarti menghentikan kekerasan.Ini adalah sebuah istilah yang lebih dapat
diterima daripada ‘damai’ pada puncak konflik. Gerakan ini dikembangkan dan
dibangun oleh sejumlah masyarakat sipil di Ambon termasuk pelajar, aktivis LSM,
pengacara, wartawan, perwakilan agama, dan pemimpin desa dan raja.
·
Peran media
Dalam
situasi konflik, media dapat digunakan sebagai alat pembangunan perdamaian dan
juga dalang kekerasan. Selama konflik di kota Ambon, media (koran, radio dan
internet) memainkan peran dalam mempromosikan kekerasan. Selain itu, media terbagi
dalam garis keagamaan dan digunakan untuk menyebarkan isu dan informasi palsu. Contohnya,
konflik mengakibatkan terpecahnya sebuah koran lokal, Suara Maluku menjadi
Suara Maluku (untuk pembaca Kristen) dan Ambon Express (untuk pembaca Muslim).
Informasi provokatif yang tidak diverifikasi sering dipublikasikan di kedua
koran tersebut. Radio dan internet juga memicu kekerasan selama konflik Ambon.
Laskar Jihad memiliki stasiun radionya sendiri,Suara Perjuangan Muslim Maluku
dan website (www.laskarjihad.or.id) yang diduga menjadi alat untuk memobilisasi
Muslim untuk melakukan serangan kekerasan dan menyebarkan propaganda tentang konflik.Kristen
dan Muslim juga saling mengkritik pembunuhan kejam dan serangan bom masing-
masing di internet.
Ada
beberapa contoh dari media yang digunakan sebagai alat pembangunan perdamaian
selama konflik.Gerakan damai Baku Bae
mengadakan lokakarya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengakhiri
konflik di Maluku dan juga lokarya untuk wartawan tentang pelatihan jurnalisme
perdamaian dan kemudian menciptakan MMC. MMC terdiri dari baik wartawan
Muslim dan Kristen dan menjadi sarana
bagi mereka untuk
bertukar informasi dan memverifikasi informasi dengan
rekan-rekan mereka dari penganut agama yang berbeda, yang sebelumnya mustahil
untuk dilakukan.Hal ini menghasilkan laporan konflik yang lebih objektif.
·
Peran perempuan
Perempuan
memainkan peran yang aktif dalam upaya penciptaan perdamaian di ambon.Pertemuan
antar agama dikalangan pengungsi perempuan tidak hanya menjamin distribusi
bantuan darurat kepada pengungsi, tapi juga menjadi ajang untuk rekonsiliasi
antara perempuan Muslim dan Kristen. Kepemimpinan perempuan dalam mengorganisir
pertemuan antar agama di antara pengungsi perempuan adalah salah satu pencapaian
penting di Maluku. Identitas bersama sebagai ‘ibu’ adalah titik masuk untuk
diskusi antar agama.Keprihatinan yang sama akan keamanan dan masa depan anak-anak
mereka, makanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya,
membantu mengikat perempuan dari dua komunitas agama yang berbeda menjadi satu
: “Perempuan menciptakan sebuah budaya
damai. Perempuan dapat meredakan ketegangan lewat nyanyian dan tarian.Perempuan
memiliki peran yang besar dalam pengelolaan konflik,” simpul seseorang aktivis.Namun
bagaimanapun, perempuan paling aktif di tingkat akar rumput.
Salah satu contoh yang kuat adalah
Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yang dibentuk pada September 1999 oleh lebih
dari 40 aktivis perempuan Muslim, Protestan dan Katolik. Mereka mengoraganisir
aksi menentang kekerasan di Maluku bahkan ketika konflik mencapai puncaknya.
Mereka juga mengatur pertemuan dengan pejabat pemerintah dan keamanan, pemimpin
agama dan pemuda, juga melatih relawan perempuan di lapangan mengenai mediasi
dan konseling.
GPP
juga bekerjasama dengan organisasi-organisasi perempuan di Maluku. Hanya ada sedikit
partisipasi perempuan di dalam penciptaan perdamaian di tingkat formal yang
lebih tinggi. Untuk Malino II, seorang pendeta perempuan dan dua perempuan
Katolik dipilih sebagai perwakilan dari komunitas Kristen, sementara tidak ada
perwakilan perempuan Muslim. Perbedaan tersebut sebagian disebabkan karena pendeta
perempuan atau biarawati Katolik memainkan peran yang signifikan sebagai
pemimpin komunitas Kristen, sementara peran perempuan dalam komunitas Muslim
kurang terlihat.
Walaupun
beberapa perempuan di Ambon terlibat dalam pembuatan bom dan dalang kekerasan,
inisiatif-inisiatif perempuan yang spontan sebagian besar membawa hasil yang
positif.Di Ambon, proses rekonsiliasi antara perempuan dari dua komunitas yang
berbeda dimulai di pasar. Perempuan, baik Muslim dan Kristen,secara teratur
berani memerjang kekerasan untuk melakukan perjalanan ke pasar, yang umumnya
berlokasi di kota Ambon, untuk membeli makanan atau menjual produk mereka. Contohnya,
perempuan yang dikenal sebagai jibujibu, melakukan perjalanan dari desa Muslim,
Sirisori ke desa Kristen,Owu untuk menjual produk mereka, bahkan selama
konflik.
Upaya
mereka terbantu oleh persepsi bahwa perempuan kurang berbahaya, sehingga lebih
mudah bagi mereka untuk masuk dan melewati daerah yang didominasi agama lain.
Walaupuan upaya mereka lebih didorong oleh kebutuhan pokok daripada kesadaran
untuk penyelesaian konflik, mereka telah meletakkan dasar untuk inisiatif
rekonsiliasi yang lebih formal. Selain itu, karena interaksi antara perempuan
dari komunitas agama yang berbeda, mereka menjadi pembawa pesan buat komunitas
yang lebih besar. Hal ini menempatkan mereka dalam posisi yang bagus untuk memverifikasi
dan menghilangkan isu dan mencegah aksi-aksi provokasi.
Konflik kekerasan dan pengelolaannya
di Poso, Sulawesi Tengah
Pendapat mengenai
akar dari konflik poso yaitu
bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan
agama.Pandangan yang mengemukakan bahwa adanya unsur suku dan agama yang
mendasari konflik sosial tersebut dapat diperkuat dengan bukti : (1).
Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh didalam Masjid Pesantren Darussalam pada bulan Ramadhan,(2). Pemusnahan
dan pengusiran terhadap suku-suku
pendatang seperti Bugis,Jawa,dan Gorontalo,serta Kaili pada kerusuhan ke
tiga,(3). Pemaksaan agama Kristen
kepada masyarakat muslim di
daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah Tentena Dusun Salena,Sangira,Toinase,Boe,dan
Meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi
secara paksa yang mengindikasikan
keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
(4).
Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol-simbol perjuangan keagamaan kristiani pada kerusuhan
ketiga,(5).Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada
kerusuhan tiga,(6). Tejadinya pembakaran rumah ibadah Gereja dan masjid serta
sarana pendidikan kedua belah pihak dan pembakaran rumah penduduk asli Poso di
Lombogia,sayo,dan Kasintuvu,(7). Adanya
pelatihan militer Kristen di Desa Kelei yang berlangsung 1 tahun 6
bulan sebelum meledak kerusuhan 3.
Selain
itu pula ada pandangan yang menyatahkan bahwa akar masalah dari kerusuhan Poso
adalah justru terletak karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan
pendapatan adalah antara panduduk asli Poso dan kaum pendatang
seperti Bugis,Jawa, Gorontalo,
dan Kaili. Kecemburuan sosial penduduk asli cukup
beralasan dimana pendapatan mereka
sebagai masyarakat asli malah
tertinggal dari kaum pendatang.
·
Inisiatif penyelesaian konflik
1) Inisiatif pemerintah setempat
Ada
banyak inisiatif pengelolaan konflik yang dilakukan oleh elite provinsi,
kabupaten dan individu yang kebanyakan tidak efektif karena sedikitnya koordinasi
antara pemerintah provinsi dan kabupaten.Sebagai akibatnya adalah kegagalan
untuk menggabung
kan kelebihan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi
(sumber daya keuangan) dan pemerintah kabupaten (jaringan setempat yang luas
dan pengetahuan geografis). Pada tahap pertama konflik, bupati Arif
Patanga mengadakan beberapa
pertemuan termasuk pertemuan penting Musyawarat Pimpinan Daerah (MUSPIDA)
setelah terjadi kerusuhan pada malam tanggal 24 Desember 1998. Pertemuan
tersebut diadakan pada 25 Desember malam untuk mempertimbangkan cara mengatasi
kekerasan.162 Pertemuan ini diikuti oleh parlemen setempat, militer, polisi,
pengacara, hakim, pemimpin agama dan komunitas.
Para
wakil umat Kristen dan Muslim menandatangani deklarasi yang meminta mereka yang
bukan dari kota Poso untuk kembali ke kampungnya dan agar komunitas Kristen dan
Muslim tidak memimbulkan gangguan. Kelompok ini juga memutuskan untuk membatasi
penjualan alkohol di kabupaten Poso untuk meminimalkan kekerasan, karena umat
Muslim sebelumnya telah menyerang toko, hotel dan restoran yang ditemukan
menjual alkohol. Pada 27 Desember, Arif Patanga dan yang lainnya yang terlibat
dalam MUSPIDA pergi ke daerah
di mana orang-orang berkumpul untuk menyerukan mengakhiri
kekerasan.
2) Inisiatif pemerintah pusat
Salah
satu inisiatif penyelesaian konflik pemerintah pusat yang paling berarti adalah
Deklarasi Damai Malino pada Desember 2001, atau sering disebut sebagai Malino
I. Dari sejak dimulai hingga selesainya, keseluruhan proses ini memakan waktu
kurang dari dua bulan. Pada November 2001, pemimpin Kristen yang terkemuka,
Pastor Tubondo, datang
ke Jakarta menemui Menteri Koordinasi Politik,Hukum
dan Keamanan (Susilo Bambang Yudhoyo) dan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Masyarakat
(Jusuf Kalla) dan Menteri Pertahanan (Abdul Jalil). Beliau meminta pemerintah
untuk mengatasi konflik di Poso dan karena posisinya yang tinggi di gereja,
diartikan sebagai tanda bahwa komunitas Kristen secara luas lebih siap untuk
perdamaian.
Hal
ini tidak mengherankan karena komunitas Kristen adalah pihak yang lebih banyak menerima
serangan belakangan ini.Jusuf Kalla yang berasal dari Sulawesi dan mempunyai
jaringan yang kuat disana, mengirimkan tim kecil ke Poso dan Tentena untuk
menilai situasi dan memilih sepuluh umat Kristen dan sepuluh Muslim yang akan
diajak konsultasi.Pada 14 Desember 2001, Jusuf Kalla bertemu kelompok kecil ini
secara terpisah di Makassar dan memberikan 3 opsi : membiarkan konflik terus
berlangsung, menggunakan kekuatan keamanan untuk mengambil tindakan atau
membiarkan Pemerintah memfasilitasi kesepakatan damai.Ketika diberikan pilihan
seperti itu, kelompok-kelompok tersebut memilih untuk negosiasi damai dan lalu
Jusuf Kalla memutuskan untuk mengadakan perundingan damai melibatkan 25 umat
Muslim dan 23 kristen.
3) Peran untuk perempuan
Sedikit
keterlibatan yang berarti dari perempuan dalam proses perdamaian formal. Hanya
tiga perempuan yang hadir di pertemuan Malino, dua dari komunitas Kristen dan
satu dari komunitas Muslim. Para wakil Kristen dipilih melalui pertemuan yang
diatur oleh komunitas Kristen di Tentena, sedangkan wakil perempuan Muslim
dipilih karena dia adalah ketua kelompok perempuan Muhamadiyah. Namun, kehadiran
perempuan tersebut tidak berarti membawa masalah perempuan ke meja pertemuan,
karena mereka harus mendukung
agenda yang lebih luas dari tim yang didominasi laki-laki.
Isu seperti penyembuhan trauma dan kekerasan seksual tidak didiskusikan dalam
negosiasi.
Menurut
seorang akademisi : “ Perempuan, terutama yang sedang hamil, adalah korban terbesar
konflik ini. Pada saat yang sama, perempuan aktif dalam rekonsiliasi ditingkat akar
rumput: Aktivis perempuan Kristen dan Muslim berkomunikasi satu sama lain dan
kami sering mengadakan pertemuan informal untuk meningkatkan kesadaran. Tapi walaupun
suara perempuan sangat penting untuk perdamaian, kami tidak mendiskusikan pandangan
kami dalam pertemuan di Malino. Hanya ada tiga perempuan dan adalah sulit untuk
mengajukan masalah tipikal yang dihadapi perempuan.”
Sampai
seberapa jauh perempuan terlibat diusaha perdamaian sering tergantung dari
posisi perempuan tersebut dalam struktur sosial komunitasnya. Contohnya, Nelly
Tan Alamako adalah pendeta di kampung Sepe yang terlibat dalam proses Malino I
dan melobi atas tuduhan pelecehan di pusat pemeriksaan keamanan polisi
dikampungnya pada 2001.Selama konflik, perempuan sering memainkan peranan
“penghubung”, menghubungkan komunitas yang tadinya terpecah-pecah. Hal ini
teutama didaerah di mana umat Muslim dan Kristen tinggal bersama seperti di Male
Lage, Tangkura, Kilo 9 dan Matako. Mereka menyediakan tempat aman untuk keluarga
lain ketika kampung mereka diserang. Namun, beberapa perempuan terlibat
langsung dalam konflik, baik sebagai pejuang (contohnya di Paulindai) atau sebagai
penyedia dukungan tidak langsung seperti makanan dan tempat berlindung bagi
pejuang.Setelah Malino I ditanda tangani, perempuan mengambil berbagai peranan
dalam mempromosikan rekonsiliasi dan membantu pemulangan pengungsi. Dalam
banyak kasus, perempuanlah yang pertama kali kembali ke kampungnya untuk
melihat kemungkinan kembali secara tetap.
Sebagai
contoh di Tangkura, baik komunitas Muslim dan Kristen di kampung mengungsi
karena konflik dan melarikan diri ke perkemahan pengungsi. Setelah deklarasi Malino
I,perempuan dari kedua komunitas agama secara cepat melakukan komunikasi
sebagai usaha untuk kembali ke kampungnya. Mereka mengadakan pertemuan
perempuan antar agama untuk mendiskusikan kemungkinan kedua komunitas kembali
ke kampungnya. Perkawinan antar agama memfasilitasi perempuan untuk membujuk
para lelaki untuk kembali ke kampungnya. Seorang aktifis bahkan sampai berkata,
“ Kampung Tangkura kembali damai berkat
inisiatif kaum perempuan.” Peran perempuan yang lebih proaktif juga sebagian
karena dukungan LSM yang mempunyai perempuan sebagai staff program dan
memberikan pelatihan kepada perempuan mengenai usaha perdamaian, rekonsiliasi
dan kesempatan mencari nafkah.
4) Peran media
Pepatah
di Poso mengatakan bahwa isu dan gosip melaju lebih cepat daripada kendaraan
motor (laju susuki lebih laju susupo). Karena kesulitan mendapatkan informasi yang
bisa dipercaya dari media di Poso, maka bisa diprediksi terjadi konsekuensi yang
negatif terhadap konflik. Tidak ada surat kabar dan majalah dari Poso selama
konflik, walaupun surat kabar dari Palu tiba di Poso pada sore di hari yang
sama diterbitkannya. Menurut Pusat Penelitian Pengelolaan Damai dan Konflik
dari Universitas Tadulako, surat kabar Palu tersebut cenderung mengambil
pernyataan dari satu sisi tanpa meminta komentar atau memeriksa fakta dari sisi
lain, dan hal ini cenderung memicu konflik lebih lanjut.Banyak orang tergantung
pada informasi dari radio, yang mempunyai masalah yang sama dengan surat kabar
dalam hal mengulangi gosip.
Beberapa organisasi berusaha mengatasi kurangnya
kemampuan jurnalis,dengan memberikan
pelatihan jurnalisme damai dan praktek jurnalisme
standar.Media memberikan lebih banyak kontribusi positif kemudian dalam
mempromosikan kampanye melawan usulan status darurat sipil di Poso pada 2001.
Bekerja sama dengan LSM di Poso, media memberitakan pertemuan LSM dengan DPRD
di Palu, yang akhirnya menghasilkan dukungan dari LSM di tingkat nasional.
Foto proses Malino satu juga menguatkan pemandangan akan pemimpin Muslim dan Kristen
merangkul satu sama lain adalah tanda yang jelas untuk komunitasnya
masing-masing bahwa para elite mereka telah setuju untuk menghentikan
kekerasan.Setelah Malino satu, media memberikan perhatian pada proses
rekonsiliasi, menekankan pada aktifitas Pokja Deklama. Ketika serangan bom
terjadi setelah Malino satu, media menjadi lebih bertanggung jawab, mencari komentar
dari Pemerintah, petugas keamanan, LSM dan Pokja Deklama. Peliputan mereka mendorong
petugas keamanan untuk mengambil tindakan yang lebih besar dalam menanggapi
serangan tersebut.LSM mempunyai hubungan yang erat dengan media yang membantu kampanye
advokasi publik untuk perdamaian dan rekonsiliasi.
Berdasarkan
penjelasan dari kedua contoh kasus diatas maka dapat dipahami bahwasannya
fenomena konflik Maluku dan Poso adalah konflik yang menyeret etnis pada aspek
agama sehingga menyebabkan banyak nya massa yang mendukung terjadinya konflik
tersebut.Etnis berbasis agama pada dasarnya dijadikan alat untuk mebolisasi
massa dalam pertikaian yang mengerikan ini,banyak korban berjatuhan dan
kerugian secara materiil dan non materiil pun dirasakan.Kesenjangan dan
marginalisasi salah satu etnis lah yang pada dasarnya menjadi faktor utama
dalam pemicu konflik tersebut,seperti kesenjangan dalam aspek politik dan
ekonomi yang menyebabkan salah satu etnis dirugikan dan merasa tidak
diperhatikan keberadaannya.
Untuk
dapat hidup rukun didalam bangsa yang memiliki banyak perbedaan ini maka maka
sikap torelansi dan saling menghargai satu sama lain sangat penting untuk dapat
meredam konflik.Maka dari pendidikan multikultural sangat penting untuk
ditanamkan agar masyarakat memahami bahwa perbedaan bukan untuk dijadikan wadah
konflik tetapi dijadikan kekayaan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh orang
lain.Selain itu,pemerintah harus mampu untuk membuat kebijakan pembangunan yang
terdistribusi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial,selain itu pendekatan
kebudayaan pada masyarakat sangat penting agar dapat memahami setiap
karateristik dari setiap etnis yang ada di Indonesia.
Comments
Post a Comment