FENOMENA KRISIS EKOLOGI PADA PERADABAN MODERN

Sekarang ini lingkungan kita masuk pada krisis ekologi. Akar persoalan dari krisis ekologi ini tidak terlepas dari perilaku manusia yang kurang memiliki rasa peduli terhadap lingkungan serta tanggungjawab dalam merawat kondisi alam dan lingkungan di kesampingkan, padahal lingkungan hidup adalah tempat berlangsungnya hidup manusia untuk berkembang dan berinteraksi. Namun, arti penting lingkungan tersebut cenderung belum dipahami oleh manusia, tidak heran jika lingkungan saat ini tengah mengalami krisis ekologi. Perilaku manusia yang belum memahami arti penting lingkungan hidup ini dapat dibuktikan dengan adanya masalah limbah yang terdapat di bantaran Sungai Musi Desa Sukarami Kecamatan Sekayu Sumatera Selatan yang membuat sungai Musi tercemar sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan pemukiman. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa 74 % warga membuang air limbah dan buang air besar langsung ke sungai Musi, saluran/kali, halaman, dan 64 % dibuang ke sumur resapan (Rahmadi, dkk: 2008). Perilaku ini mencerminkan bahwa kesadaran masyarakat untuk lebih peduli dengan lingkungan masih rendah.
Perilaku manusia yang kurang bertanggungjawab untuk menjaga lingkungan dan melestarikan lingkungan hidup dapat pula dibuktikan dengan terjadinya fenomena kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi Indonesia, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan yang menimbulkan bencana kabut asap. Perilaku manusia yang membakar hutan dan lahan menjadi salah satu faktor penyebab krisis ekologi dikarenakan usahan manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonomisnya. Hutan dan lahan yang dibuka untuk untuk pemukiman dan pertanian/perkebunan dengan cara di bakar lebih di pilih oleh manusia-manusia yang berorientasi pada profit tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. Fenomena ini mencerminkan bahwa hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan hidup nampaknya tidak diterapkan lagi karena kepentingan ekonomi yang lebih diutamakan. Bencana kabut asap karena hutan dan lahan yang dibakar menyisakan penderitaan dan kerugian baik secara materi dan non materi. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada awal tahun 2014 di Riau dan Kalimantan Barat mencatat kerugian sebesar Rp. 481, 23 Milyar pada periode kebakaran Maret-April  dengan total 39.239 orang terkena ISPA (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
Kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia seperti yang disebutkan diatas mencerminkan bahwa manusia mengabaikan etika lingkungan. Etika lingkungan merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral dan upaya untuk mengendalikan alam agar tetap berada pada batas kelestarian (Keraf, dalam Mukti). Di samping itu juga, etika lingkungan berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makluk lain atau dengan alam secara keseluruhan. Maka dari itu, etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dapat di pertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Apabila keseimbangan lingkungan terganggu sehingga munculnya masalah lingkungan hidup, maka hal tersebut berikaitan erat dengan etika lingkungan. Hal ini dikarenakan masalah lingkungan hidup adalah masalah moral atau persoalan perilaku manusia . Ini artinya kerusakan lingkungan bukan semata-mata hanya karena persoalan teknis. Faktor penyebab dari etika lingkungan yang cenderung dilupakan ini adalah keserakahan yang bersifat ekonomis dan ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada di sekitarnya (Dedik Budianta, dikutip dalam Mukti : 2-3). 
Kerusakan lingkungan ini juga diperparah karena manusia menganut paham materialisme sehingga terjadi krisis ekologi dan dipercepat karena adanya dominasi sikap antroposentrisme yaitu memandang  manusia adalah pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya hanya alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia (Keraf,  dikutip dalam Mukti : 7). Selain itu juga, kerusakan lingkungan dan bencana lingkungan yang terjadi juga disebabkan karena tidak selarasnya peran dan fungsi sistem dalam mendukung pencapaian tujuan konservasi dan penyelamatan lingkungan yang diharapkan. Tidak selarasnya peran dan fungsi sistem dalam penyelamatan lingkungan dalam konteks ini dapat dilihat dari sistem hukum. Sistem hukum pada dasarnya adalah landasan untuk mendukung penuh pemanfaatan lingkungan, sebab dalam sistem hukum ada undang-undang dan peraturan-peraturan tentang lingkungan (Rachmad K.Dwi Susilo, 2012: 39-43).
Seperti pada pasal 28 H ayat 1 UUD 1945, dijelaskan, “Setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.” Kemudian Undang-Undang No. 23 Tahun 2009  yang mengatur  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Landasan hukum yang mengatur mengenai kewajiban untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat keputusan Majelis Hukum Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan gantirugi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebesar 7,9 triliun rupiah atas kasus kebakaran hutan yang disebabkan aksi tebang dan bakar oleh  PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang merupakan anak usaha Grup Sinar Mas serta membebaskan pelaku yang menyebabkan kerusakan lingkungan tersebut. Luasnya lahan dan hutan yang dibakar untuk kepentingan ekonomi ini tidak hanya membawa kerugian untuk masyarakat dan negara, tetapi juga mempercepat proses global warming atau peristiwa yang memberikan dampak negatif untuk kelangsungan hidup makluk hidup karena hutan dan lahan yang di bakar tersebut menghasilkan asap dan gas CO2 yang berpengaruh besar pada pemanasan global. Luas lahan dan hutan yang terbakar di beberapa provinsi Indonesia yang menyisakan kerugian yang tidak terhitung nilainya.

Miris memang melihat perilaku manusia yang tidak peduli dengan kelestarian alam dan lingkungan karena mengabaikan etika lingkungan. Selain mengabaikan etika lingkungan, masyarakat dewasa ini juga telah melupakan kearifan lokal (local wisdom) yang berasal dari leluhur terdahulu dalam memperlakukan alam, padahal kearifan lokal tersebut mengajarkan untuk menghargai dan menjaga lingkungan karena kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, dikutip dalam Diana Gusti Rahayu dkk, 2012 : 1-2), seperti kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Kenegerian Rokan Provinsi Riau dalam menjaga kelestarian hutan dengan menerapkan ketetapan hukum adat dengan peraturan yang ketat untuk menjaga  hutan dari illegal logging. Sanksi yang  diberikan  bagi pelaku  kerusakan  hutan  berguna memberikan efek jera terhadap para perusak hutan
Kearifan lokal tersebut mengajarkan untuk menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan dengan membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan. Contoh sederhana dari membangun hubungan yang  harmonis  dengan  lingkungan  yaitu membuang sampah pada tempatnya, atau dengan cara tidak mengeskploitasi alam secara berlebihan sehingga dapat mengganggu keseimbangan alam dan lingkungan. Nilai-nilai kearifan lokal yang luhur ini cenderung tidak diimplementasikan lagi oleh masyarakat dewasa ini yang lebih  berorientasi pada paham materialistis dan antroposentrisme. Hal ini dapat di buktikan dengan fenomena pengeksploitasian sumber daya alam yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan. Seperti  aktivitas pertambangan PT Freepot di Papua, dari sisi lingkungan, industri tambang tersebut menyebabkan  pencemaran  air  karena industri  membuang limbah tambang kesungai dalam bentuk tailings yang  mengandung air asam batuan ke sistem sungai Aghwagon (Ratih Hamsky, 2014:418). Selain itu kerusakan lingkungan juga terjadi di Desa Ponggok, Kabupaten  Klaten  akibat aktivitas PT Aqua-Donone yang menjarahsumber daya air pegunungan masyarakat lokal setelah kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT Tirtainvestama Aqua-Danone yang kemudian ditindak lanjuti dengan Perda No.12 tahun 1991 dan Surat DPRD No.172/09 tanggal 28 Januari 2002 ( Rachmad K. Dwi Susilo,2012 : 129-130). 
Eksploitasi sumber mata air pegunungan oleh industri tersebut akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan yang membawa dampak kerugian untuk masyarakat lokal. Pertama, debit air menurun dari 100 Liter/detik menjadi 56 Liter/detik. Kedua, pelanggaran AMDAL dengan menggeser lokasi pengeboran dari titik sebelumnya. Ketiga pengisolasian lokasi sumber mata air Sigedang yang menyebabkan tertutupnya akses masyarakat dalam mengontrol sumber produksi (Erwin Endaryanta,dikutip dalam Rachmad, 2011:181-182). Dari sini kita dapat mengerti bahwa kerusakan lingkungan yang menyebabkan krisis ekologi dikarenakan perilaku  manusia itu sendiri yang menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal untuk kepentingan profit oriented. 

Comments

Popular posts from this blog

“Apa makna sukses bagi dirimu ?”

GURU KEHIDUPAN